kebudayaan dan kesusastraan

                                                                  Kebudayaan dan Kesusastraan

                                Menurut Para Seniman, Sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikut kata sastra sering dikombinasi-kan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan. Terdapat banyak sekali definisi mengenai kebudaya-an. Definisi yang paling tua sekaligus paling luas berasal dari E.B. Tylor (Sardar dan Loon, 1997: 4) yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871). Menurut Taylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi mutakhir yang senada dengan Taylor, sekaligus dengan memberikan peranan terhadap masyarakat, diberikan oleh Marvin Harris (1999: 19), yaitu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Menurut Koentjaraningrat (1974: 80), kata kebudayaan berasal dari buddhayah (Sansekerta), sebagai bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Di samping kebudayaan terdapat istilah lain yang berkaitan erat, yaitu pradaban (dari akar kata adab, bahasa Arab). Dalam tradisi Barat, peradaban disebut civilization (dari akar kata civis, civitas) yang berarti warga negara, negara kota. Jadi, secara etimologis kebudayaan dan peradaban adalah sinonim, keduanya berarti keseluruhan hidup masyarakat manusia. Meskipun demikian, dalam perkembangan selanjutnya pada umumnya peradaban didefinisi-kan sebagai bentuk-bentuk kebudayaan yang paling tinggi, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, sistem ketatanegaraan, dan sebagainya.Jadi, sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, yaitu aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas, sebagai kemampuan emosionalitas, kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas. Dikaitkan dengan bahasa-bahasa barat, yang semuanya berasal dari bahasa Latin, yaitu litteratura, sastra berarti segala sesuatu yang tertulis. Sebaliknya, culture, juga dari bahasa Latin colere, berarti mengolah, mengerjakan, yang secara luas diartikan sebagai aktivitas manusia untuk mengolah alam. Kebudayaan mengolah alam melalui kemampuan akal, melalui teknologi, termasuk ekonomi dan politik,sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Mengolah dalam sastra, dalam hubungan ini diartikan sebagai membangun alam, membangun dunia baru, sebagai ‘dunia dalam kata’. Hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra, seperti: puisi, novel, kakawin, dan sebagainya. Alam baru yang dibangun oleh kebudayaan, misalnya: perumahan, pertanian, hutan, kawasan pariwisata, kawasan elite, dan sebagainya. Sastra dan kebudayaan, seperti telah diuraikan di depan, baik secara definitif etimologis maupun secara praktis pragmatis, berhubungan erat. Kedua istilah berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia. Apabila dalam perkembangan berikut sastra perlu diberi definisi yang lebih sempit, yaitu aktivitas manusia dalam bentuk yang indah, lebih khusus lagi bentuk dengan memanfaatkan bahasa, baik lisan maupun tulisan, tidak demikian halnya terhadap kebudayaan. Artinya, kebudayaan tetap memiliki ruang lingkup yang lebih luas, bahkan cenderung diberikan peluang untuk bertambah luas sebab aktivitas manusia bertambah luas dan beragam. Mengingat luasnya bidang kebudayaan untuk menjelaskan hubungan antara sastra dan kebudayaan perlu dibedakan antara kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan. Secara garis besar Koentjaraningrat (1974: 83) membedakan tiga wujud kebudayaan, yaitu : (a) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan, (b) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat, dan (c) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam kaitannya dengan peradaban, menurut Huntington (2003: 37-46) sejarah manusia adalah sejarah peradaban itu sendiri, bukan sejarah kebudayaan Berbeda dengan kebudayaan yang secara luas didefinisikan sebagai keseluruhan aktivitas manusia, sejak manusia hidup di muka bumi ini hingga sekarang, peradaban terbatas pada bentuk kebudayaan dengan nilai-nilai yang tinggi, seperti kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan kalimat lain, meski pun kebudayaan dianggap sebagai kompleksitas kehidupan manusia tetapi sebagai nilai-nilai, peradabanlah yang memiliki entitas yang paling luas. Sejarah peradaban manusia ditandai dengan ditemukannya aksara di lembah sungai Mesopotamia sekitar 3.500 SM, yang sekaligus mengakhiri masa prasejarah umat manusia. Huntington memberikan beberapa ciri untuk mengenali peradaban manusia, sebagai berikut. 

a. Secara eksplisit ide mengenai peradaban dikemukakan oleh para pemikir Perancis abad ke-18, dengan cara mempertentangkannya dengan konsep barbarisme. 

b. Sebagai entitas kultural, peradaban (besar) identik dengan agama (besar). Peradaban pada gilirannya mengatasi suku, ras, dan etnis, artinya, orang-orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan ke dalam peradaban yang sama, ke dalam agama yang sama. 

c. Peradaban bersifat komprehensif sebab merupakan totalitas dan memiliki derajat integrasi tertentu. Peradaban dianggap sebagai entitas yang paling luas dan suatu kebudayaan tertentu. Sebuah agama dapat mempersatukan beberapa kebudayaan yang berbeda.

d. Peradaban cepat berubah, tetapi juga hidup sangat lama, berkembang tetapi juga mengalami kemunduran, beradaptasi, dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia. 

e. Peradaban merupakan entitas kultural, bukan politis. Oleh karena itu, suatu peradaban dapat mencakup beberapa kesatuan politis, seperti: negara, kekaisaran, dan federasi, bahkan juga negara multinasional.

Pengaruh Budaya Terhadap Sastra
Bahasa tidak hanya memunyai hubungan dengan budaya, tetapi juga sastra. Bahasa memunyai peranan yang penting dalam sastra karena bahasa punya andil besar dalam mewujudkan ide/keinginan penulisnya. Banyak hal yang bisa tertuang dalam sebuah sastra, baik itu puisi, novel, roman, bahkan drama. Setiap penulis karya sastra hidup dalam zaman yang berbeda, dan perbedaan zaman inilah yang turut ambil bagian dalam menentukan warna karya sastra mereka. Oleh karena itu, ada beberapa periode dalam penulisan karya sastra, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Setiap periode "mengangkat" latar belakang yang berbeda-beda sesuai zaman dan budaya saat itu.
Sebagai contoh, kesusastraan Indonesia. Kesusastraan Indonesia menjadi potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Tidak jarang, kesusastraan Indonesia mencerminkan perjalanan sejarah Indonesia, "kegelisahan" kultural, dan manifestasi pemikiran Bangsa Indonesia. Misalnya, kesusatraan zaman Balai Pustaka (1920 -- 1933). Karya-karya sastra pada zaman itu menunjukkan problem kultural ketika Bangsa Indonesia dihadapkan pada budaya Barat.
Karya sastra tersebut memunculkan tokoh-tokoh (fiksi) yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Selain itu, ada budaya "lama", seperti masalah adat perkawinan dan kedudukan perempuan yang mendominasi novel Indonesia pada zaman Balai Pustaka. Sekarang ini, novel Indonesia cenderung menyajikan konflik cinta, sains, kekeluargaan, dll..
Bagaimana pendapat Anda mengenai puisi zaman sekarang? Tentu saja ada perbedaan yang sangat kentara, baik dalam topik yang "diangkat" maupun bahasa yang digunakan. Sebagai contoh, kumpulan puisi Mbeling karya Remy Sylado, tahun 2005. Sebagian besar puisi Mbeling yang ia tulis mengangkat kehidupan politik pada saat itu, seperti korupsi, koruptor, individualisme, dll.. Secara penulisan, beberapa puisi karya Remy Sylado hanya terdiri 1 -- 2 kata saja dan disusun dengan tipografi yang unik. Misal, puisi berjudul "Individualisme dalam Kolektivisme". Puisi ini hanya terdiri dari kata "kita" dan "aku". Kedua kata ini disusun dengan pola membentuk persegi panjang, dengan kata "AKU" (kapital) pada titik diagonalnya. Jika dibandingkan dengan puisi pada zaman Muhammad Yamin, tentu mengalami perbedaan. Meskipun mengangkat tema yang sama, misalnya politik, tetapi konten penyajian puisi sangatlah berbeda. Puisi Muhammad Yamin lebih mengangkat sisi perumusan konsep kebangsaan, meskipun saat itu masih dalam lingkup Sumatera. Jelas sangat berbeda dengan puisi Remy Sylado, yang lebih condong menyajikan sisi kehidupan politik sebuah bangsa berkembang dengan kondisi pemerintahan yang kurang baik.
Perbedaan karya sastra setiap periode bukanlah semata-mata karena ide/gagasan dari penulisnya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya yang terjadi pada saat itu. Bahkan, jika kita mau merunut karya sastra dari awal sampai sekarang, dan meneliti lebih dalam mengenai latar belakang ideologi saat itu, kita bisa mendapati bagaimana proses perjalanan Bangsa Indonesia. Meskipun karya sastra di Indonesia bisa dibilang hampir pada posisi "tengah" -- tidak terlalu menonjol dan tidak terpuruk, namun perlu disadari bahwa budaya barat sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, turut memengaruhi karya sastra Indonesia.
Pernahkah Anda mendengar karya sastra Indonesia modern? Gaya sastra asing (barat) dan pengaruh bentuk menjadi patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Pada kenyataannya, ketika pengarang hidup dalam budayanya, ia mencoba untuk menerima tradisi estetis (gaya barat) dengan budayanya. Penerimaan tradisi estetis tersebut dituangkan dalam karyanya, dijadikan latar/setting pada tulisannya, sekadar memberi warna dalam proses kreatif yang ia lakukan. Akibatnya, sastra lama hanya akan menjadi sebuah artefak. Para peneliti sastra pun menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di Indonesia, melalui karya-karya sastra yang ada.
Budaya dan sastra memunyai ketergantungan satu sama lain. Sastra sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga segala hal yang terdapat dalam kebudayaan akan tercermin di dalam sastra. Masinambouw mengatakan bahwa sastra (bahasa) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, bahasa (sastra) adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi.
Ketika kita membicarakan pengaruh kesusastraan asing dalam kesusasteraan Indonesia, kita harus melihat vista sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal, kita dapat melayangkan pandangan jauh ke belakang, ke masa Hamzah Fansuri mula bersyair dan bernazam atau ke zaman Nuruddin Ar-Raniry ketika melahirkan Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan ketika Raja Ali Haji melahirkan Bustanul Katibin (Taman Para Penulis). Hasil kesusastraan di zaman itu lebih sering disebut oleh sarjana sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok Pujangga Baru. Meskipun demikian, patut diketahui bahwa sastra baru Indonesia pun sudah dipelopori oleh penulis Tionghoa peranakan yang mula pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.
Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama itu sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastrakakawin yang mendapat pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia). Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah Nusantara.  Karya sastra dari Arab dan Parsi itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam,  masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra Indonesia lama.
            Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh penulis  Cina Peranakan, masih menulis syair dan pantun  dalam karya cetak. Pada tahun 1912, misalnya, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat itu berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah (Sastri, 2012).
Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran di sekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing,  seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan perdagangan, karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia- Belanda.
Pada zaman Jepang, pengaruh kesusastraan asing, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf menerjemahkan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju (Pustaka Jaya, 1972).
            Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an, pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu dapat kita temukan pada karya para penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran kiri.

Hakikat Sastra dan Kebudayaan

  Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural. Dikaitkan dengan fungsinya, sebagai aktivitas literer dan aktivitas kultural, keduanya juga berfungsi untuk mengantarkan manusia untuk mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Perbedaan sesuai dengan hakikatnya masing-masing, karya sastra melakukannya secara tak langsung, melalui bahasa metaforis konotatif, aspek-aspek kebudayaan pada umumnya melakukannya secara langsung, melalui bahasa baku, bahasa logis denotatif. Pada umumnya kebudayaan menganalisis manusia secara langsung dalam masyarakat yang bersangkutan, di tempat-tempat kejadian. Apabila ternyata bahwa objek studi kultural merupakan teks, maka teks itu pun dianggap sebagai representasi suatu kejadian tertentu. Dalam hubungan inilah dikatakan teks sebagai gejala kedua. Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikannya terlebih dahulu ke dalam teks, dari bahasa formal ke dalam bahasa sastra, dari kejadian ke dalam plot, dari karakterologi ke dalam karakterisasi.

Objek formal karya sastra dengan demikian adalah teks itu sendiri, sedangkan objek formal studi kultural, meskipun dalam suatu penelitian sudah diadopsi ke dalam korpus data, tetap kejadian-kejadian empiris yang ada di lapangan, sebagai studi konteks. Oleh karena itulah, sastra disebut sebagai ‘dunia dalam kata’, bukan dunia manusia. Kejadian-kejadian yang sudah dilegitimasikan dalam teks tidak bisa diterjemah kembali ke dalam kejadian semula sebab sesudah direka karya sastra tidak memiliki relevansi objektif. Menurut Langer (1957:28,83), lukisan bukanlah cat atau kanvas, melainkan sudah berubah menjadi struktur ruang. Sastra bukanlah rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah berubah menjadi wacana, menjadi teks. Oleh karena itu pula, karya seni disebut sebagai sistem model yang kedua (Lotman, 1977:7-31), sebagai rekonstruksi, dan harus dipahami secara tak langsung, yaitu dengan memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui kata-kata sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia yang baru. Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus. Kata-kata itu pun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayaan yang lain. Pengetahuan mengenal masa lampau dapat diketahui melalui kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan keanekaragaman kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu yang lain, dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan sebagainya. Aspek kebudayaan yang paling banyak memanfaatkan kata-kata, dalam hubungan ini sebagai bahasa, adalah sastra. Dengan kalimat lain, medium utama karya sastra adalah bahasa. Bahasalah yang mengikat keseluruhan aspek kehidupan, disajikan melalui cara-cara yang khas dan unik, berbeda dengan bentuk-bentuk penyajian yang dilakukan dalam narasi nonsastra. Bentuk penyajian yang berbeda tidak dimaksudkan agar karya sastra terpisah dari kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Sebaliknya, bentuk penyajian tersebut justru bertujuan agar peristiwa yang sesungguhnya dapat dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan mendalam. Masalah-masalah perempuan Indonesia, misalnya, dapat dijelaskan secara lebih mendalam setelah membaca novel- novel Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan novel-novel populer yang terbit tahun 1970-an. Kehidupan priayi Jawa dapat dipahami secara lebih intens melalui Para Priayi (Umar Kayam), kasta di Bali melalui Tarian Bumi (Oka Rusmini), ronggeng di Jawa melalui karya-karya Ahmad Tohari, komunisme di Indonesia melalui karya-karya para pengarang Lekra. Tanggapan masyarakat Barat terhadap bangsa Timur dipahami melalui novel-novel para pengarang Barat yang melukiskan keadaan bangsa Timur seperti terkandung dalam beberapa karya Shakespeare. Novel, cerpen, drama, puisi, geguritan, cerita rakyat, dan sebagainya merupakan objek studi kultural yang sangat kaya.



Referensi

http://siti-masitoh-sk13.blogspot.com/2014/03/hubungan-sastra-dan-budaya.html

https://media.neliti.com/media/publications/235006-sastra-dan-budaya-9f18ccea.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Perubahan Dan Manajemen Peningatan Layanan Berkelanjutan

RESUME AUDIT TEKNLOGI SISTEM INFORMASI.T1